Rabu, 03 Desember 2014

hasil seminar di UIN MALANG

Semalam penuh kami menempuh perjalanan dengan satu mobil dari STAIN Ponorogo menuju UIN Malang, kami berbondong-bondong demi mengikuti secara langsung seminar dengan nara sumber Prof.H. M.Mahfud.MD, dan Drs Saad… yang di laksanakan oleh panitia pekan raya syari’ah Universitas Islam Negeri Malang. Kedua pembicara dalam seminar tersebut merupakan sosok negarawan yang sangat di nantikan pemikiran-pemikiranya demi menghilangkan rasa kehausan bagi para manusia yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, begitulah ungkapan dari rektor UIN Malang dalam sambutanya. Seminar pecan raya kali ini mengambil tema “ REVITALISASI NILAI SYARI’AH DALAM HUKUM NASIONAL ”, kami rasa tema ini sangat sesuai dengan perkembangan zaman khususnya dalam bidangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Prof M.Mahfud.MD dalam seminar tersebut memulai presentasinya di hadapan para audien  dengan dua pertanyaan akademis, yakni: 1). Apakah hukum islam bisa berlaku di Indonesia, 2). Dimana dan bagaimana hukum islam di berlakukan?.
Seorang tokoh negarawan yang baik, Prof .M.Mahfud.MD dan Dr, Saad… selalu menyampaikan terlebih dahulu bahwa Negara Indonesia bukan Negara islam melainkan Negara pancasila sebagai ideology tertinggi dengan  satu alat kendali yakni reschtrat ( hukum) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 UUD 1945, hal ini disampaikan agar para audien tidak terjebak dalam memahami konsep-konsep dasar tatanan Negara serta hukum yang ada di Indonesia. Indonesia yang berlandaskan diri dengan ideology pancasila dinilai sudah final, dengan demikian antara sila pertama,kedua,ketiga,keempat dan kelima tidak boleh bertentangan, misalnya sila tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak boleh bertentangan dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan begitu seterusnya, memahami tentang sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti setiap orang boleh memberlakukan hukum bagi dirinya sesuai dengan keyakinan agamanya, namun bukan berarti hukum yang diberlakukan tersebut dapat dilakukan eksekusi begitu saja tanpa adanya pengesahan dari Negara, misalnya dalam islam sudah aturan-aturan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk kitab yakni fiqih, namun tidak dapat dilakukan eksekusi oleh Negara karena sifatnya yang masih sukarela, dengan demikian bernegara menjadi sebuah kebutuhan yang teramat penting. Demikianlah tambahan Dr Saad.. ketika menyampaikan gagasanya
  Bernegara merupakan sebuah fitrah dari Yang Maha Tinggi, namun demikian tidak di perbolehkan setiap orang/golongan yang karena agamanya mendirikan Negara yang kemudian memberlakukan hukum sesuai dengan agamanya sendiri-sendiri, karena orang Indonesia tidak hanya menganut satu agama melainkan berbagai agama. Dalam kaitanya dengan revitalisasi hukum islam dengan hukum nasional, memberikan isyarat bahwa agama itu harus di jadikan sebagai sumber hukum, bukan sebagai hukum yang di berlakukan. Pada posisi ini Prof M.Mahfud.MD memberikan argumen sebagai berikut:


v  Negara tidak memberlakukan hukum islam tetapi memproteksinya.
Menurut sifatnya, hukum di Indonesia harus mampu memberikan pelayanan tanpa pandang bulu atau labeling agama, hal ini dikarenakan agama yang dianut di Indonesia bukan hanya satu agama saja. Dengan demikian Negara Indonesia tidak menjalankan hukum islam akan tetapi memproteksi atau mengambil nilai-nilai hukum yang ada di islam dalam hukum nasional,sehingga agama Islam dapat di jadikan sebagai sumber hukum materil (bahan hukum)

v  Sumber hukum materil

           Agama memang merupakan sumber bahan hukum, namun demikian harus memperhatikan faktor sejarah, sosiologis, dan filosofis bangsa Indonesia, karena ketiga faktorlah yang merupakan ciri-ciri bahan hukum.

v Bereklektis dengan dengan sumber hukum meteril yang lain untuk menjadi sumber hukum formal.

        Maksud dari berekleksi disini bahwa dalam hukum publik Negara dalam membentuk hukum formal tidak hanya memperhatikan satu agama saja, melainkan harus mengambil nilai-nilai yang di kandung oleh agama sebagai bahan dalam hukum NKRI. Namun untuk hukum privat berlaku pasal 163 IS (dirilis tahun 1948), penggolongan penduduk,hukum perdata bersifat sukarela dll. Revitalisasi hukum dalam islam dapat melalui substansi syari’ah, misal dalam islam dalam bernegara harus memperhatikan syarat amar ma’ruf nahi munkar yang kemudian muncul ekonomi syari’ah dan sejenisnya, inilah maksud dari sifat hukum yang melayani penduduknya memegang prinsip agamanya.
            Dalam kenyataanya kaum muslimin telah mengalami mobilitas yang begitu cepat, hal ini dapat dilihat bahwa banyak Negara-negara dunia yang di banjiri kaum muslimin dan semua ingin bersyari’ah dalam hidupnya, misal Amerika Serikat,Thailand dan Australia membuat policy wisata syari’ah, apalagi Indonesia yang mayoritas penduduknya islam. Hukum syari’ah di Indonesia sudah mulai berpengaruh di dalam hukum nasional, sebagai bukti yang konkrit adalah disahkanya undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 dan KHI,dimana undang-undang tersebut berlaku secara nasional. Di akhir pendiskripsianya Prof M.Mahfud.MD menjelaskan bahwa hukum islam tidak serta merta di terapkan begitu saja, sehingga nilai-nilai yang ada di islam-lah yang harus dibawa para Dewan dan pejabat lain dalam menjalankan roda pemerintahan ini,sehingga keadilan dalam konsep agama dapat terealisasikan kedalam system kenegaraan dewasa ini,begitulah kurang lebih jawaban dari kedua pertanyaan akademis diatas.
Nb: tulisan ini masih dlm perbaikan, kepada temen2 (khususnya yang kemarin mengikuti seminar)bisa memberikan pembenahan.dan selamat membaca.!!!!!

 Semalam penuh kami menempuh perjalanan dengan satu mobil dari STAIN Ponorogo menuju UIN Malang, kami berbondong-bondong demi mengikuti secara langsung seminar dengan nara sumber Prof.H. M.Mahfud.MD, dan Drs Saad… yang di laksanakan oleh panitia pekan raya syari’ah Universitas Islam Negeri Malang. Kedua pembicara dalam seminar tersebut merupakan sosok negarawan yang sangat di nantikan pemikiran-pemikiranya demi menghilangkan rasa kehausan bagi para manusia yang selalu haus akan ilmu pengetahuan, begitulah ungkapan dari rektor UIN Malang dalam sambutanya. Seminar pecan raya kali ini mengambil tema “ REVITALISASI NILAI SYARI’AH DALAM HUKUM NASIONAL ”, kami rasa tema ini sangat sesuai dengan perkembangan zaman khususnya dalam bidangan ilmu pengetahuan hukum di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Prof M.Mahfud.MD dalam seminar tersebut memulai presentasinya di hadapan para audien  dengan dua pertanyaan akademis, yakni: 1). Apakah hukum islam bisa berlaku di Indonesia, 2). Dimana dan bagaimana hukum islam di berlakukan?.
Seorang tokoh negarawan yang baik, Prof .M.Mahfud.MD dan Dr, Saad… selalu menyampaikan terlebih dahulu bahwa Negara Indonesia bukan Negara islam melainkan Negara pancasila sebagai ideology tertinggi dengan  satu alat kendali yakni reschtrat ( hukum) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 UUD 1945, hal ini disampaikan agar para audien tidak terjebak dalam memahami konsep-konsep dasar tatanan Negara serta hukum yang ada di Indonesia. Indonesia yang berlandaskan diri dengan ideology pancasila dinilai sudah final, dengan demikian antara sila pertama,kedua,ketiga,keempat dan kelima tidak boleh bertentangan, misalnya sila tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak boleh bertentangan dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan begitu seterusnya, memahami tentang sila “ Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti setiap orang boleh memberlakukan hukum bagi dirinya sesuai dengan keyakinan agamanya, namun bukan berarti hukum yang diberlakukan tersebut dapat dilakukan eksekusi begitu saja tanpa adanya pengesahan dari Negara, misalnya dalam islam sudah aturan-aturan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk kitab yakni fiqih, namun tidak dapat dilakukan eksekusi oleh Negara karena sifatnya yang masih sukarela, dengan demikian bernegara menjadi sebuah kebutuhan yang teramat penting. Demikianlah tambahan Dr Saad.. ketika menyampaikan gagasanya
  Bernegara merupakan sebuah fitrah dari Yang Maha Tinggi, namun demikian tidak di perbolehkan setiap orang/golongan yang karena agamanya mendirikan Negara yang kemudian memberlakukan hukum sesuai dengan agamanya sendiri-sendiri, karena orang Indonesia tidak hanya menganut satu agama melainkan berbagai agama. Dalam kaitanya dengan revitalisasi hukum islam dengan hukum nasional, memberikan isyarat bahwa agama itu harus di jadikan sebagai sumber hukum, bukan sebagai hukum yang di berlakukan. Pada posisi ini Prof M.Mahfud.MD memberikan argumen sebagai berikut:


v  Negara tidak memberlakukan hukum islam tetapi memproteksinya.
Menurut sifatnya, hukum di Indonesia harus mampu memberikan pelayanan tanpa pandang bulu atau labeling agama, hal ini dikarenakan agama yang dianut di Indonesia bukan hanya satu agama saja. Dengan demikian Negara Indonesia tidak menjalankan hukum islam akan tetapi memproteksi atau mengambil nilai-nilai hukum yang ada di islam dalam hukum nasional,sehingga agama Islam dapat di jadikan sebagai sumber hukum materil (bahan hukum)

v  Sumber hukum materil

           Agama memang merupakan sumber bahan hukum, namun demikian harus memperhatikan faktor sejarah, sosiologis, dan filosofis bangsa Indonesia, karena ketiga faktorlah yang merupakan ciri-ciri bahan hukum.

v Bereklektis dengan dengan sumber hukum meteril yang lain untuk menjadi sumber hukum formal.

        Maksud dari berekleksi disini bahwa dalam hukum publik Negara dalam membentuk hukum formal tidak hanya memperhatikan satu agama saja, melainkan harus mengambil nilai-nilai yang di kandung oleh agama sebagai bahan dalam hukum NKRI. Namun untuk hukum privat berlaku pasal 163 IS (dirilis tahun 1948), penggolongan penduduk,hukum perdata bersifat sukarela dll. Revitalisasi hukum dalam islam dapat melalui substansi syari’ah, misal dalam islam dalam bernegara harus memperhatikan syarat amar ma’ruf nahi munkar yang kemudian muncul ekonomi syari’ah dan sejenisnya, inilah maksud dari sifat hukum yang melayani penduduknya memegang prinsip agamanya.
            Dalam kenyataanya kaum muslimin telah mengalami mobilitas yang begitu cepat, hal ini dapat dilihat bahwa banyak Negara-negara dunia yang di banjiri kaum muslimin dan semua ingin bersyari’ah dalam hidupnya, misal Amerika Serikat,Thailand dan Australia membuat policy wisata syari’ah, apalagi Indonesia yang mayoritas penduduknya islam. Hukum syari’ah di Indonesia sudah mulai berpengaruh di dalam hukum nasional, sebagai bukti yang konkrit adalah disahkanya undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 dan KHI,dimana undang-undang tersebut berlaku secara nasional. Di akhir pendiskripsianya Prof M.Mahfud.MD menjelaskan bahwa hukum islam tidak serta merta di terapkan begitu saja, sehingga nilai-nilai yang ada di islam-lah yang harus dibawa para Dewan dan pejabat lain dalam menjalankan roda pemerintahan ini,sehingga keadilan dalam konsep agama dapat terealisasikan kedalam system kenegaraan dewasa ini,begitulah kurang lebih jawaban dari kedua pertanyaan akademis diatas.
Nb: tulisan ini masih dlm perbaikan, kepada temen2 (khususnya yang kemarin mengikuti seminar)bisa memberikan pembenahan.dan selamat membaca.!!!!!

Rabu, 22 Oktober 2014

Tukar guling wakaf prespektif fiqih




BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang

           Wakaf merupakan salah satu aspek yang sangat diperhatikan dalam islam karena pranata yang mengedepankan hajat sosial ekonomi dalam rangka menyejahterakan umat dan untuk kepentingan engembangan kepentingan syiar Islam.
            Sejak terjadinya krisis  multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh krisis ekonomi,peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu instrument untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.disamping itu,kesadaran berwakaf yang tumbuh dari diri masing-masing menjadikan perekat kohesi sosial bangsa kita.
            Pengelolaan wakaf tidak statis,melainkan selalu bekembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat.Oleh karena itu,pemerintah terus mendorong bagi tumbuhnya semangat pemberdayaan wakaf secara produktif kepada pihak-pihak yang terkait dengan wakaf.Selain pemberdayaan wakaf kita juga tengah dihadapkan kepada permasalahan yang perlu penanganan yang perlu penangan dengan serius,salah satunya adalah ” Tukar Guling Wakaf Prespektif Fiqih”.Berangkat dari fenomena diatas disamping tugas yang dibebankan kepada kami,juga memotivasi kami dalam menyusun makalah ini.Didalam makalah ini akan kami paparkan berbagai permasalah yang terjadi pada dunia perwakafan dan cara penyelesaian serta berbagai pendapat para fuqaha megenai permasalahan tersebut diatas
            Terakhir,setelah penulisan makalah ini besar harapan kami,semoga mampu memberikan pemahaman dan pencerahan  kepada siapa saja yang membacanya  utamanya kepada seluruh rekan-rekan Mahasiswa  jurusan Syari’ah.Karena merekalah pakar hokum yang akan menggantikan orangb pakar sesudahnya yang kemudian hari disebut sebagai kader pelopor dan pelangsung  yang ikut andil dalam penyelesaian problematika dalam perwakafan.

B.              Rumusan Masalah
a.       Jelaskan maksud Ibdal wakaf dan istibdal wakaf ?
b.      Jelaskan Keabadian benda wakaf menurut para ulama?
c.       Bagaimana Status benda wakaf dalam pandangan islam?
d.      Bagaimana hukum Penjualan atau menukar  benda wakaf menurut prespektif fiqih?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ibdal Wakaf dan Istibdal wakaf


Wakaf sebagaimana maknanya berhenti. Yaitu berhenti dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada pemilik jagat raya, Allah SWT. Maka harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Prinsip  Wakaf    adalah keabadian  (ta’bidul  ashli),  dan   prinsip  kemanfaatan  (tasbilul  manfaah).

Persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial adalah tukarguling yang dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif disebut ruilslag. Al-Istibdal, diartikan  sebagai  penjualan  barang  wakaf  untuk  dibelikan  barang  lain  sebagai   wakaf  penggantinya.   Ada  yang  mengartikan,  bahwa  al-Istibdal   adalah   mengeluarkan   suatu  barang  dari  status   wakaf,  dan  menggantikannya   dengan  barang   lain. Al-Ibdal, diartikaan  sebagai  penggantian  barang  wakaf  dengan  barang  wakaf  lainnya, baik  yang  sama  kegunaannya  atau   tidak,  seperti  menukar  wakaf   yang  berupa  tanah pertanian  dengan  barang  lain  yang  berupa  tanah  untuk  bangunan.[1]
            Dibawah ini perlu kami tampilkan penyelesaiain hukum ibdal (pengganti benda wakaf) menurut empat Ulama’ Mazhab Dalam perspektif mazhab Hanafiyah, hukum Istibdal adalah boleh. Landasan kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi yang menyertai praktik Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan mereka namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi manfaatnya yang terus berkelanjutan.
Dalam kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H) menyatakan: ”jika barang wakaf sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan keuntungan lagi maka barang tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat Istibdal (penggantian) sebelumnya.”
            Dalam perspektif mazhab Malikiyah, pelaksanaan Istibdal tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik melarang tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid, kuburan atau jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat seperti perluasan. Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya. karena barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah rusak bila dibiarkan.
            Dalam perspektif mazhab Syafii, Sementara ulama Syafiiyah sangat hati-hati mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka tidak memperbolehkan tukar guling wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan dengan madzhab malikiyah yang membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah kekelan bentuk barang wakaf tersebut.  Sehingga terkesan mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf.
            Dalam perspektif mazhab Hambali, madzhabHambali lebih bersifat moderat (pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai Istibdal ini, mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk itu— maka kita telah menyia-nyiakan wakaf.
            Kesimpulan pendapat mereka, madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan  melarang mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid. Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap.[2]












B.     Keabadian Benda Wakaf

           Para ulama mazhab,kecuali mazhab Maliki,berpendapat bahwa,wakaf itu benar benar terjadi kecuali bila orang yang mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama-lamanya dan terus menerus.Itu pula sebabnya,maka wakaf disebut sebagai sadaqah jariyah.
           Berdasarkan keberlangsungannya sepanjang zaman,wakaf dibagi menjadi dua bagian yaitu wakaf abadi dan sementara.Wakaf abadi adalah wakaf yang dimaksudkan untuk memberikan pokok harta tetap yang dapat memberi kan manfaat secara berkala dan berlangsung secara abadi untuk dipergunakan sesuai dengan tujuan wakaf.secara garis besar dapat dikatakan wakaf abadi jika terdapat tiga syarat sebagai berikut:
1.Pokok harta yang diwakafkan harus secara fisik bersifat abadi,dan itu hanya terdapat pada harta berupa tanah,atau secara hokum bersifat abadi karena ketentuan hukum yang telah ditetapkan bersama seperti saham pada suatu perusahaan atau bangunan yang telah ditentukan tingkat kekekalannya dan telah disyaratkan perbaikan dan pembaharuanya apabila rusak.
2.Adanya pernyataan dari wakif bahwa harta yang diwakafkan itu untuk selamanya bukan sementara.Jadi untuk mengetahui keabadian wakaf tidak cukup karena harta yang diwakafkan  tersebut kemudian dengan sendirinya menjadi wakaf abadi.Akan tetapi harus ada niat dan kemauan si wakif untuk mengabadikan benda wakaf.Madzhab maliki memang mengatakan boleh memberi batasan waktu pada wakaf.Namun mereka juga mengatakan bahwa sebagian wakaf bersifat abadi,sekalipun itu tidak ada isyarat dari wakif bahwa wakafnya bersifat abadi.Secara khusus mereka mengatakan terutama untuk wakaf masjid sebagai berikut ” Wakaf masjid menjadi,sekalipun wakif memberi batasan”.
3.Keberlangsungan tujuan untuk target yang ingin dicapai dari harta wakaf.Ini menunjukkan bahwa wakaf abadi harus menunjukkan tujuan yang abadi.Karena sebagian wakaf ada yang tidak abadi,seperti wakaf untuk sekelompok orang tertentu dan pada masa tertentu.[3]
  
C.     Status Benda Wakaf
           Tidak dapat disangkal lagi bahwa,sebelum sesuatu barang diwakafkan,ia adalah milik orang yang mewakafkan.Sebab,wakaf tidak dapat dipandang sah kecuali terhadap barang yang dimiliki sectyara sempurna.Kemudian kalau wakaf telah dilaksanakan bagaimana setatus kepemilikanya?.Dibawah ini akan kami uraikan beberapa pendapat para pakar hukum untuk menjawab pertanyaan diatas.
           Maliki berpendapat bahwa,esensi kepemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemilik semula.Hanafi mengatakan bahwa barang yang sudah diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi,dan pendapat ini juga pendapat paling kuat diantara beberapa pendapat kalangan Safi’I,sedangkan Hambali mengatakan barang tersebut berpindah tangan kepada pihak yang di wakafi[4]. Sementara itu,menurut Imam Al-Syafi’I harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya seperti yang di bolehkan Maliki. Maka di syaratkan pula benda yang di wakafkan itu tahan lama, tidak cepat habis sepeti makanan.Alasannya ialah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam Al-Syafi’I memahami tindakan Umar mensedekahkan hartanya dengan tidak menjual, mewariskannya dan menghibahkannya, juga sebagai hadits karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits takriry, walaupun telah didahului oleh hadits Qauly[5].

                  Selanjutnya,Didalam kitab Al-Jawahir,sebuah kitab rujukan  paling otoritatif bagi fiqihImamiyah,dikatakan bahwa,wakaf bila telah sempurna dilaksanakan.Menurut pendapat mayoritas ulama Mazhab Imammiyah,bahkan dikatakan pendapat yang masyhur,dan dalam Al-Ghunyah dan Al-Sarair disebutkan adanya Ijma’.Bahwa pemilikan atas barang tersebut hilang dari orag yang mewakafkan.Sesudah adanya penjelasan dikalangan Ulama’ diatas terjadi perbedaan pendapat bahwa,kepemiikan atas barang yang dwakafkan tersebut hilang dari orang yang mewakafkan dan apakah hilangnya tersebut bersifat sepenuhnya ataukah tidak?
           Untuk menjawab prolem diatas kami menampilkan pendapat dari sekelompok ulama’ Imammiyah bahwa mereka membagi benda wakaf menjadi dua macam yaitu wakaf Khairi dan Wakaf ahli.Wakaf khairi seperti masjid,madrasah .wakaf ahli seperti wakaf bagi anak cucu.Untuk jenis yang pertama barang hiang sama sekali,sedangkan yang kedua,barang berpindah tangan dari pewakaf kepenerima wakaf. Manfaat dari adanya perselisihan mengenai kepemilikan benda wakaf tampak boleh atau tidak menjualnya,pada barang yang diwakafkan untuk waktu tertentu.[6]

D.    Penjualan Benda Wakaf

           Perlu kita ketahui bersama bahwa,harta wakaf itu hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar hasil dan manfaatnya dapat diambil semaksimal mungkin.Tapi kenyataanyamenunjukan bahwa selalu ada kemungkinana harta wakaf tersebut berkurang atau  habis manfaatnya atau tidak ada hasilnya pada suatu saat dikemudian hari.Habisnya manfaat atau tidak adanya hasil mungkin disebabkan harta wakaf itu telah rusak,atau karena keadaan dan tempat tidak berfungsi lagi.
           Karena itulah pada prinsipnya para ulama berpendapat bahwa harta wakaf itu dapat di tukar atau dijual jika keadaan menghendakinya,hanya saja diantara mereka ada yang membatasinya secara ketat dan tidak secara ketat.
           Menurut Ulama Syafi’iyyah ,ia membatasinya secara ketat.Benda wakaf boleh di tukar atau dijual  hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa.Atau karena ada suatu kepentingan umum yang harus diindahkan sehingga tanah wakaf harus ditukar,seperti karena akan dibangun jalan ditempat tanah wakaf itu,maka pemerintah harus menukarnya dengan tanah yang lain.
           Menurut Imam Malik,binatang-binatang wakaf yang telah lemah karena tua,pakain-pakaian wakaf yang telah rusak,masjid-masjid yang telah rusak menurut Imam Malik boleh dijual atau ditukar.Dasarnya ialah karena asas benda wakaf baik bergerak atau tidak bergerak,ialah adanya manfaat pada masa yang akan datang.
           Para ulama mazhab Hambali memberikan pengertian agak longgar dalam masalah penjualan atau penukaran benda wakaf.menurut mereka boleh menjual masjid,jika masjid tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal,seperti telah terlalu kecil dibandingkan jumlah jamaahnya,karena itu perlu dicari tanah yang lebih  menganjurkan luas untuk membangun masjid yang lebih besar ,atau masjid tersebut perlu direnovasi dan lain sebagainya.Imam Hambali juga membolehkan menukar benda wakaf dengan yang lebih manfaat asal harganya tidak kurang dari harga pembelian harta wakaf yang dijual itu.
           Ulama’ Hanafiyah lebih banyak memberi kelonggaran lagi dalam menukar atau menjual selain masjid.menurutnya harta wakaf tersebut terjadi karena tiga hal,yaitu:
1)         Wakaf dalam ikrar menyatakan bahwa dia menunjuk dirinya atau badan lain untuk mempertukarkan atau menjual harta wakaf seandainya diperlukan dikemudian hari
2)         Wakif tidak menyatakan hak  untuk menjual atau menukar harta wakaf,dalam sighat wakaf dahulu,dan tidak memberikan hak kepada orang atau lembaga yang lain.kemudian hari ternyata harta wakaf itu tida dapat diambil manfaat aau hasilnya lagi,seperti robohnya bangunan wakaf atau gersangnya tanah sehingga tidak menghasilkan yang sepadan dengan biaya pengolahanya.Penggantian atau penjualan hal seperi ini dibolehkan dengan keputusan baik.
3)         Harta wakaf telah memberi manfaat atau mendatangkan hasil yang melebihi biaya pengelolaanya,tetapi ada kesempatan untuk menukar dengan yang lebih baik dengan harga dan nilai yang sama dalam wakaf itu,hal seperti ini menurut Abu Yusuf boleh karena tidak mengurangi tujuan wakaf.[7]
Dalam buku lain dijelaskan bahwa sebelum Harta wakaf itu di jual tentunya ada sebab-sebab kebolehan untuk menjual wakaf.yaitu:
a.       Bila wakaf tersebut sudah tidak lagi memberikan manfaat sesuai tujuan wakaf,sperti wakaf tikar yang telah rusak sehingga memungkinkan untuk dijual
b.      Sayyid Abu Al-Hasan Al-Asfahani,dalam wasilat Al-najat,mengatakan: perabot – perabot,permadani dan lain sebagainya,bila masih mungkin dimanfaatkan dalam bentuk semula tidak boleh dijual.Sedangkan apabila di tempat yang semula sudah tidak dipakai lagi,boleh dipergunakan ditempat lain yang sejenis.Sedang bila tidak bias dimanfaatkan lagi maka boleh menjualnya.
c.       Benda wakaf itu dalam keadaan rusak,misalnya kebun yang minimum hasilnya.
d.      Apabila terjadi terjadi persengketaan diantara pengurus wakaf yang dikhawatirkan akan terjadi korban jiwa,maka dalam kondisi seperti ini harta wakaf boleh dijual demi kemaslahatan.[8]
Berdasarkan uraian itu, berarti pada prinsipnya harta wakaf tidak bisa dilakukan transaksi hukum lain, seperti dihibahkan, dijual, atau diwarisan,sebagaimana sabda Nabi SAW:

لَا يُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ وَلَايُوْرَثُ                                                                                                                                                                                                                                          Tidak dijual,tidak dihibahkan,dan tidak diwariskan

namun apabila tidak bermanfaat lagi sesuai dengan ikrar wakaf semula, atau adanya kepentingan umum yang lebih besar, maka pengalihfungsian benda wakaf merupakan bentuk solusi dengan pertimbangan mashlahah,hal ini senanda dengan Al-Qawaid Al-fiqiyah yang mengatakan bahwa:

دَ رْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّ مُ عَلَي جَلْبِ المَصَا لِحِ

“Menolak kerusakan harus di dahulukan dari pada menerima kemaslahatan”
   Jadi menurut kaidah ini,apabila dalam suatu perkara terlihat ada mafsadat dan maslahatnya,maka mafsadat itu harus dihilangkan,karena hal itu akan menjalar kemana-mana dan akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi.[9]Dari fenomena diatas Nampak telihat bahwa, penggantian wakaf telah berlaku sejak lama,yang berlangsung dan berkembang hingga sekarang.Disebutkan dalam tarikh bahwa Jamaluddin,salah seorang penguasa mesir pada dinasti Mamlik,apabila memndapatkan benda wakaf produktif dan dia ingin mengambilnya kembali,dia mesti mendatangkan  dua saksi yang menyatakan bahwa tempat itu ( benda wakaf) dalam keadaan mudharat sehingga perlu dilakukan penggantian dengan benda wakaf yang lain.Peristiwa diatas,sesungguhnya memiliki implikasi yang luas terhadap berbagai pemikiran ulama fiqih.Oleh karena itu Abu Zahrah menegaskan,ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam proses penggantian atau penjualan benda wakaf.Pertama,hakim harus memeriksa dan menyelidiki sendiri jika memungkinkan terhadap benda wakaf dan benda yang diajukan sebagai penggantinya.Kedua,hendaknya menunjukkan dua saksi yang berpengalaman,adil,dan dapat dipercaya.Ketiga,setelah dilakukan penggantian hendaknya ditulis dalam buku khusus dan didengarkan kesaksiannya serta disebutkan bahwa tidak ada sesuatu yang menghambat atau menghalangi prosesnya, sehingga penggantian telah sempurna untuk kemaslahatan.[10]



BAB III
PENUTUP

1.    KESIMPULAN
A.    Ibdal Wakaf dan Istibdal wakaf

     Madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan  melarang mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid. Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap.

B.     Keabadian Benda Wakaf

     Secara garis besar keabadian benda wakaf dapat dilihat menurut beberapa ketentuan secara umum. Yaitu:
1)      Pokok harta yang diwakafkan harus secara fisik bersifat abadi.
2)      Adanya pernyataan dari wakif bahwa harta yang diwakafkan itu untuk selamanya bukan sementara
3)      Keberlangsungan tujuan untuk target yang ingin dicapai dari wakaf.

C.     Status Benda Wakaf

     Pendapat dari sekelompok ulama’ Imammiyah bahwa mereka membagi benda wakaf menjadi dua macam yaitu wakaf Khairi dan Wakaf ahli.Wakaf khairi seperti masjid,madrasah .wakaf ahli seperti wakaf bagi anak cucu.Untuk jenis yang pertama barang hiang sama sekali,sedangkan yang kedua,barang berpindah tangan dari pewakaf kepenerima wakaf.

D.    Hukum Menjual Benda Wakaf

     Menurut Ulama Syafi’iyah boleh menjual hartawakaf hanya dalam keadaan terpaksa, Ulama Malikiyah boleh menjual harta wakaf bila sudah tidak layak digunakan dan diganti dengan yang lebih bermanfaat kecuali benda tidak bergerak, Ulama Hambali membolehkan menjual wakaf tidak bergerak dengan penegasan bila benda itu tidak dapat digunakan secara maksimal, Ulama’ Hanafiyah lebih banyak memberi kelonggaran lagi dalam menukar atau menjual selain masjid.menurutnya harta wakaf tersebut terjadi karena tiga hal,yaitu:
1)      Wakaf dalam ikrar menyatakan bahwa dia menunjuk dirinya atau badan lain untuk mempertukarkan atau menjual harta wakaf seandainya diperlukan dikemudian hari
2)      Wakif tidak menyatakan hak  untuk menjual atau menukar harta wakaf,dalam sighat wakaf dahulu,dan tidak memberikan hak kepada orang atau lembaga yang lain.kemudian hari ternyata harta wakaf itu tida dapat diambil manfaat aau hasilnya lagi,seperti robohnya bangunan wakaf atau gersangnya tanah sehingga tidak menghasilkan yang sepadan dengan biaya pengolahanya.Penggantian atau penjualan hal seperi ini dibolehkan dengan keputusan baik.
3)      Harta wakaf telah memberi manfaat atau mendatangkan hasil yang melebihi biaya pengelolaanya.

2.    Kritik dan Saran

     Demikian makalah tentang “Tukar Guling Wakaf Menurut Prespektif Fiqih” tentunya masih banyakkesalah dan kekuranganya.Untuk itu kami membuka kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan penyusunan makalah di kemudian hari.

























Daftar Pustaka

Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakakaf Produktif.Jakarta Timur: KHALIFA PUSTAKA AL-KAUTSAR GROUP, 2005

A Rahman,Asymuni dkk. Ilmu Fiqih 3,Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama,1986

 Khosyi’ah,siah. Wakaf dan Hibah.Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010
Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2007

Rokamah,Ridho. Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah,2012       
Andianas.blogspot.com/2012/01/pandangan-imam-mazhab-dan-para-ulama.html

[1] http://bwi.or.id/index.php?option=com_contentHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"view=articleHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"id=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"751HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"%HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"3HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"Arethinking-fiqih-wakafHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"catid=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"27HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"%HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"3HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"AopiniHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"Itemid=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"137HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"lang=in









[1] http://bwi.or.id/index.php?option=com_contentHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"view=articleHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"id=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"751HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"%HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"3HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"Arethinking-fiqih-wakafHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"catid=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"27HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"%HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"3HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"AopiniHYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"Itemid=HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"137HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"&HYPERLINK "http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=751:rethinking-fiqih-wakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=in"lang=in

[3]  Mundzir Qahaf, Manajemen Wakakaf Produktif, (Khalifa Pustaka Al-kautsar Group: Tahun 2005 ), hal 97-100
[4] Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 6-7
[5] Andianas.blogspot.com/2012/01/pandangan-imam-mazhab-dan-para-ulama.html
[6] Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 7-9
[7] Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqih 3, (  Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama: Tahun 1986 ), 223-225
[8] Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 17-20
[9] Ridho Rokamah, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, 67
[10] Siah Khosyi’ah, Wakaf dan Hibah,(CV.PUSTAKA SETIA: 2010),140