BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wakaf merupakan
salah satu aspek yang sangat diperhatikan dalam islam karena pranata yang
mengedepankan hajat sosial ekonomi dalam rangka menyejahterakan umat dan untuk
kepentingan engembangan kepentingan syiar Islam.
Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita
yang dipicu oleh krisis ekonomi,peran wakaf menjadi semakin penting sebagai
salah satu instrument untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.disamping
itu,kesadaran berwakaf yang tumbuh dari diri masing-masing menjadikan perekat
kohesi sosial bangsa kita.
Pengelolaan wakaf tidak
statis,melainkan selalu bekembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam
masyarakat.Oleh karena itu,pemerintah terus mendorong bagi tumbuhnya semangat
pemberdayaan wakaf secara produktif kepada pihak-pihak yang terkait dengan
wakaf.Selain pemberdayaan wakaf kita juga tengah dihadapkan kepada permasalahan
yang perlu penanganan yang perlu penangan dengan serius,salah satunya adalah ” Tukar
Guling Wakaf Prespektif Fiqih”.Berangkat dari fenomena diatas disamping
tugas yang dibebankan kepada kami,juga memotivasi kami dalam menyusun makalah
ini.Didalam makalah ini akan kami paparkan berbagai permasalah yang terjadi
pada dunia perwakafan dan cara penyelesaian serta berbagai pendapat para fuqaha
megenai permasalahan tersebut diatas
Terakhir,setelah penulisan makalah
ini besar harapan kami,semoga mampu memberikan pemahaman dan pencerahan kepada siapa saja yang membacanya utamanya kepada seluruh rekan-rekan
Mahasiswa jurusan Syari’ah.Karena
merekalah pakar hokum yang akan menggantikan orangb pakar sesudahnya yang
kemudian hari disebut sebagai kader pelopor dan pelangsung yang ikut andil dalam penyelesaian
problematika dalam perwakafan.
B.
Rumusan Masalah
a.
Jelaskan maksud
Ibdal wakaf dan istibdal wakaf ?
b.
Jelaskan
Keabadian benda wakaf menurut para ulama?
c.
Bagaimana Status
benda wakaf dalam pandangan islam?
d.
Bagaimana hukum
Penjualan atau menukar benda wakaf
menurut prespektif fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ibdal Wakaf dan
Istibdal wakaf
Wakaf sebagaimana maknanya berhenti. Yaitu berhenti
dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada pemilik jagat raya, Allah SWT.
Maka harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.
Prinsip Wakaf adalah keabadian (ta’bidul
ashli), dan prinsip
kemanfaatan (tasbilul manfaah).
Persoalan yang timbul akibat dari dimensi
sosial adalah tukarguling yang dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam
hukum positif disebut ruilslag. Al-Istibdal, diartikan sebagai
penjualan barang wakaf
untuk dibelikan barang
lain sebagai wakaf
penggantinya. Ada yang
mengartikan, bahwa al-Istibdal
adalah mengeluarkan suatu
barang dari status
wakaf, dan menggantikannya dengan
barang lain. Al-Ibdal, diartikaan sebagai
penggantian barang wakaf
dengan barang wakaf
lainnya, baik yang sama
kegunaannya atau tidak,
seperti menukar wakaf
yang berupa tanah pertanian dengan
barang lain yang
berupa tanah untuk
bangunan.[1]
Dibawah ini perlu kami tampilkan
penyelesaiain hukum ibdal (pengganti benda wakaf) menurut empat Ulama’ Mazhab Dalam
perspektif mazhab Hanafiyah, hukum Istibdal adalah boleh. Landasan kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi
yang menyertai praktik Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan
mereka namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan
untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan”
wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat
”abadi” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi
manfaatnya yang terus berkelanjutan.
Dalam kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H)
menyatakan: ”jika barang wakaf sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan
keuntungan lagi maka barang tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat
Istibdal (penggantian) sebelumnya.”
Dalam perspektif mazhab Malikiyah, pelaksanaan Istibdal tidak diperbolehkan
menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik
melarang tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid,
kuburan atau jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat
seperti perluasan. Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf
manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya. karena
barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka
akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang
dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu
dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah
rusak bila dibiarkan.
Dalam perspektif mazhab Syafii, Sementara
ulama Syafiiyah sangat hati-hati mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka
tidak memperbolehkan tukar guling wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan
dengan madzhab malikiyah yang membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman
mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah
kekelan bentuk barang wakaf tersebut. Sehingga terkesan mereka mutlak
melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir, penggantian
tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf.
Dalam perspektif mazhab Hambali, madzhabHambali
lebih bersifat moderat (pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah.
Mengenai Istibdal ini, mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan
berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat
mempermudah izin untuk melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat
bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk
itu— maka kita telah menyia-nyiakan wakaf.
Kesimpulan pendapat mereka, madzhab
hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di
ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan melarang
mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di
atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab
tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf
masjid. Ibnu taimiyah
merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak
atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap.[2]
B.
Keabadian Benda
Wakaf
Para ulama mazhab,kecuali mazhab
Maliki,berpendapat bahwa,wakaf itu benar benar terjadi kecuali bila orang yang
mewakafkan bermaksud mewakafkan barangnya untuk selama-lamanya dan terus
menerus.Itu pula sebabnya,maka wakaf disebut sebagai sadaqah jariyah.
Berdasarkan keberlangsungannya
sepanjang zaman,wakaf dibagi menjadi dua bagian yaitu wakaf abadi dan
sementara.Wakaf abadi adalah wakaf yang dimaksudkan untuk memberikan pokok harta
tetap yang dapat memberi kan manfaat secara berkala dan berlangsung secara
abadi untuk dipergunakan sesuai dengan tujuan wakaf.secara garis besar dapat
dikatakan wakaf abadi jika terdapat tiga syarat sebagai berikut:
1.Pokok
harta yang diwakafkan harus secara fisik bersifat abadi,dan itu hanya terdapat
pada harta berupa tanah,atau secara hokum bersifat abadi karena ketentuan hukum
yang telah ditetapkan bersama seperti saham pada suatu perusahaan atau bangunan
yang telah ditentukan tingkat kekekalannya dan telah disyaratkan perbaikan dan
pembaharuanya apabila rusak.
2.Adanya
pernyataan dari wakif bahwa harta yang diwakafkan itu untuk selamanya bukan
sementara.Jadi untuk mengetahui keabadian wakaf tidak cukup karena harta yang
diwakafkan tersebut kemudian dengan
sendirinya menjadi wakaf abadi.Akan tetapi harus ada niat dan kemauan si wakif
untuk mengabadikan benda wakaf.Madzhab maliki memang mengatakan boleh memberi
batasan waktu pada wakaf.Namun mereka juga mengatakan bahwa sebagian wakaf
bersifat abadi,sekalipun itu tidak ada isyarat dari wakif bahwa wakafnya
bersifat abadi.Secara khusus mereka mengatakan terutama untuk wakaf masjid
sebagai berikut ” Wakaf masjid menjadi,sekalipun wakif memberi batasan”.
3.Keberlangsungan
tujuan untuk target yang ingin dicapai dari harta wakaf.Ini menunjukkan bahwa
wakaf abadi harus menunjukkan tujuan yang abadi.Karena sebagian wakaf ada yang
tidak abadi,seperti wakaf untuk sekelompok orang tertentu dan pada masa tertentu.[3]
C.
Status Benda
Wakaf
Tidak
dapat disangkal lagi bahwa,sebelum sesuatu barang diwakafkan,ia adalah milik
orang yang mewakafkan.Sebab,wakaf tidak dapat dipandang sah kecuali terhadap
barang yang dimiliki sectyara sempurna.Kemudian kalau wakaf telah dilaksanakan
bagaimana setatus kepemilikanya?.Dibawah ini akan kami uraikan beberapa pendapat para pakar hukum untuk menjawab pertanyaan diatas.
Maliki berpendapat bahwa,esensi
kepemilikan atas barang tersebut tetap berada di tangan pemilik semula.Hanafi mengatakan
bahwa barang yang sudah diwakafkan itu sudah tidak ada pemiliknya lagi,dan
pendapat ini juga pendapat paling kuat diantara beberapa pendapat kalangan
Safi’I,sedangkan Hambali mengatakan barang tersebut berpindah tangan kepada
pihak yang di wakafi[4]. Sementara itu,menurut Imam Al-Syafi’I harta yang diwakafkan
terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk
selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya
seperti yang di bolehkan Maliki. Maka di syaratkan pula benda
yang di wakafkan itu tahan lama, tidak cepat habis sepeti makanan.Alasannya
ialah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam
Al-Syafi’I memahami tindakan Umar mensedekahkan hartanya dengan tidak menjual,
mewariskannya dan menghibahkannya, juga sebagai hadits karena Nabi melihat
tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits
takriry, walaupun telah didahului oleh hadits Qauly[5].
Selanjutnya,Didalam kitab
Al-Jawahir,sebuah kitab rujukan paling
otoritatif bagi fiqihImamiyah,dikatakan bahwa,wakaf bila telah sempurna
dilaksanakan.Menurut pendapat mayoritas ulama Mazhab Imammiyah,bahkan dikatakan
pendapat yang masyhur,dan dalam Al-Ghunyah dan Al-Sarair disebutkan
adanya Ijma’.Bahwa pemilikan atas barang tersebut hilang dari orag yang mewakafkan.Sesudah
adanya penjelasan dikalangan Ulama’ diatas terjadi perbedaan pendapat
bahwa,kepemiikan atas barang yang dwakafkan tersebut hilang dari orang yang
mewakafkan dan apakah hilangnya tersebut bersifat sepenuhnya ataukah tidak?
Untuk menjawab prolem diatas kami
menampilkan pendapat dari sekelompok ulama’ Imammiyah bahwa mereka membagi
benda wakaf menjadi dua macam yaitu wakaf Khairi dan Wakaf ahli.Wakaf khairi seperti
masjid,madrasah .wakaf ahli seperti wakaf bagi anak cucu.Untuk jenis yang
pertama barang hiang sama sekali,sedangkan yang kedua,barang berpindah tangan
dari pewakaf kepenerima wakaf. Manfaat dari adanya perselisihan mengenai
kepemilikan benda wakaf tampak boleh atau tidak menjualnya,pada barang yang
diwakafkan untuk waktu tertentu.[6]
D.
Penjualan Benda
Wakaf
Perlu kita ketahui bersama
bahwa,harta wakaf itu hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar hasil dan
manfaatnya dapat diambil semaksimal mungkin.Tapi kenyataanyamenunjukan bahwa
selalu ada kemungkinana harta wakaf tersebut berkurang atau habis manfaatnya atau tidak ada hasilnya pada
suatu saat dikemudian hari.Habisnya manfaat atau tidak adanya hasil mungkin
disebabkan harta wakaf itu telah rusak,atau karena keadaan dan tempat tidak
berfungsi lagi.
Karena itulah pada prinsipnya para
ulama berpendapat bahwa harta wakaf itu dapat di tukar atau dijual jika keadaan
menghendakinya,hanya saja diantara mereka ada yang membatasinya secara ketat
dan tidak secara ketat.
Menurut Ulama Syafi’iyyah ,ia
membatasinya secara ketat.Benda wakaf boleh di tukar atau dijual hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa.Atau
karena ada suatu kepentingan umum yang harus diindahkan sehingga tanah wakaf
harus ditukar,seperti karena akan dibangun jalan ditempat tanah wakaf itu,maka
pemerintah harus menukarnya dengan tanah yang lain.
Menurut Imam Malik,binatang-binatang
wakaf yang telah lemah karena tua,pakain-pakaian wakaf yang telah
rusak,masjid-masjid yang telah rusak menurut Imam Malik boleh dijual atau
ditukar.Dasarnya ialah karena asas benda wakaf baik bergerak atau tidak
bergerak,ialah adanya manfaat pada masa yang akan datang.
Para ulama mazhab Hambali memberikan
pengertian agak longgar dalam masalah penjualan atau penukaran benda
wakaf.menurut mereka boleh menjual masjid,jika masjid tersebut tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal,seperti telah terlalu kecil dibandingkan jumlah
jamaahnya,karena itu perlu dicari tanah yang lebih menganjurkan luas untuk
membangun masjid yang lebih besar ,atau masjid tersebut perlu direnovasi dan
lain sebagainya.Imam Hambali juga membolehkan menukar benda wakaf dengan yang
lebih manfaat asal harganya tidak kurang dari harga pembelian harta wakaf yang
dijual itu.
Ulama’ Hanafiyah lebih banyak memberi
kelonggaran lagi dalam menukar atau menjual selain masjid.menurutnya harta
wakaf tersebut terjadi karena tiga hal,yaitu:
1)
Wakaf dalam
ikrar menyatakan bahwa dia menunjuk dirinya atau badan lain untuk
mempertukarkan atau menjual harta wakaf seandainya diperlukan dikemudian hari
2)
Wakif tidak menyatakan
hak untuk menjual atau menukar harta
wakaf,dalam sighat wakaf dahulu,dan tidak memberikan hak kepada orang atau
lembaga yang lain.kemudian hari ternyata harta wakaf itu tida dapat diambil
manfaat aau hasilnya lagi,seperti robohnya bangunan wakaf atau gersangnya tanah
sehingga tidak menghasilkan yang sepadan dengan biaya pengolahanya.Penggantian
atau penjualan hal seperi ini dibolehkan dengan keputusan baik.
3)
Harta wakaf
telah memberi manfaat atau mendatangkan hasil yang melebihi biaya
pengelolaanya,tetapi ada kesempatan untuk menukar dengan yang lebih baik dengan
harga dan nilai yang sama dalam wakaf itu,hal seperti ini menurut Abu Yusuf
boleh karena tidak mengurangi tujuan wakaf.[7]
Dalam
buku lain dijelaskan bahwa sebelum Harta wakaf itu di jual tentunya ada
sebab-sebab kebolehan untuk menjual wakaf.yaitu:
a.
Bila wakaf
tersebut sudah tidak lagi memberikan manfaat sesuai tujuan wakaf,sperti wakaf
tikar yang telah rusak sehingga memungkinkan untuk dijual
b.
Sayyid Abu
Al-Hasan Al-Asfahani,dalam wasilat Al-najat,mengatakan: perabot –
perabot,permadani dan lain sebagainya,bila masih mungkin dimanfaatkan dalam
bentuk semula tidak boleh dijual.Sedangkan apabila di tempat yang semula sudah
tidak dipakai lagi,boleh dipergunakan ditempat lain yang sejenis.Sedang bila
tidak bias dimanfaatkan lagi maka boleh menjualnya.
c.
Benda wakaf itu
dalam keadaan rusak,misalnya kebun yang minimum hasilnya.
d.
Apabila terjadi
terjadi persengketaan diantara pengurus wakaf yang dikhawatirkan akan terjadi
korban jiwa,maka dalam kondisi seperti ini harta wakaf boleh dijual demi
kemaslahatan.[8]
Berdasarkan uraian itu, berarti pada prinsipnya harta wakaf
tidak bisa dilakukan transaksi hukum lain, seperti dihibahkan, dijual, atau
diwarisan,sebagaimana sabda Nabi SAW:
لَا يُبَاعُ وَلَايُوْهَبُ وَلَايُوْرَثُ
“ Tidak dijual,tidak
dihibahkan,dan tidak diwariskan”
namun apabila tidak bermanfaat lagi sesuai
dengan ikrar wakaf semula, atau adanya kepentingan umum yang lebih besar, maka
pengalihfungsian benda wakaf merupakan bentuk solusi dengan pertimbangan
mashlahah,hal ini senanda dengan Al-Qawaid Al-fiqiyah yang mengatakan bahwa:
دَ
رْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّ مُ عَلَي جَلْبِ المَصَا لِحِ
“Menolak kerusakan
harus di dahulukan dari pada menerima kemaslahatan”
Jadi
menurut kaidah ini,apabila dalam suatu perkara terlihat ada mafsadat dan
maslahatnya,maka mafsadat itu harus dihilangkan,karena hal itu akan menjalar
kemana-mana dan akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi.[9]Dari fenomena diatas Nampak telihat bahwa, penggantian wakaf telah
berlaku sejak lama,yang berlangsung dan berkembang hingga sekarang.Disebutkan
dalam tarikh bahwa Jamaluddin,salah seorang penguasa mesir pada dinasti
Mamlik,apabila memndapatkan benda wakaf produktif dan dia ingin mengambilnya
kembali,dia mesti mendatangkan dua saksi
yang menyatakan bahwa tempat itu ( benda wakaf) dalam keadaan mudharat sehingga
perlu dilakukan penggantian dengan benda wakaf yang lain.Peristiwa
diatas,sesungguhnya memiliki implikasi yang luas terhadap berbagai pemikiran
ulama fiqih.Oleh karena itu Abu Zahrah menegaskan,ada tiga hal yang harus
dipenuhi dalam proses penggantian atau penjualan benda wakaf.Pertama,hakim
harus memeriksa dan menyelidiki sendiri jika memungkinkan terhadap benda wakaf
dan benda yang diajukan sebagai penggantinya.Kedua,hendaknya menunjukkan
dua saksi yang berpengalaman,adil,dan dapat dipercaya.Ketiga,setelah
dilakukan penggantian hendaknya ditulis dalam buku khusus dan didengarkan
kesaksiannya serta disebutkan bahwa tidak ada sesuatu yang menghambat atau
menghalangi prosesnya, sehingga penggantian telah sempurna untuk kemaslahatan.[10]
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
A.
Ibdal Wakaf dan
Istibdal wakaf
Madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian
diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati
bahkan melarang mutlak istibdal wakaf.
Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam
masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang
madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid. Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan
wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat
barang wakaf tersebut tetap.
B. Keabadian Benda Wakaf
Secara garis besar keabadian benda wakaf dapat dilihat
menurut beberapa ketentuan secara umum. Yaitu:
1) Pokok harta yang diwakafkan harus secara fisik
bersifat abadi.
2) Adanya pernyataan dari wakif bahwa harta yang
diwakafkan itu untuk selamanya bukan sementara
3) Keberlangsungan tujuan untuk target yang ingin dicapai dari wakaf.
C. Status Benda Wakaf
Pendapat dari sekelompok ulama’ Imammiyah bahwa mereka
membagi benda wakaf menjadi dua macam yaitu wakaf Khairi dan Wakaf ahli.Wakaf
khairi seperti masjid,madrasah .wakaf ahli seperti wakaf bagi anak cucu.Untuk
jenis yang pertama barang hiang sama sekali,sedangkan yang kedua,barang
berpindah tangan dari pewakaf kepenerima wakaf.
D. Hukum Menjual Benda Wakaf
Menurut Ulama Syafi’iyah boleh menjual hartawakaf hanya
dalam keadaan terpaksa, Ulama Malikiyah boleh menjual harta wakaf bila sudah
tidak layak digunakan dan diganti dengan yang lebih bermanfaat kecuali benda
tidak bergerak, Ulama Hambali membolehkan menjual wakaf tidak bergerak dengan
penegasan bila benda itu tidak dapat digunakan secara maksimal, Ulama’
Hanafiyah lebih banyak memberi kelonggaran lagi dalam menukar atau menjual
selain masjid.menurutnya harta wakaf tersebut terjadi karena tiga hal,yaitu:
1)
Wakaf dalam
ikrar menyatakan bahwa dia menunjuk dirinya atau badan lain untuk
mempertukarkan atau menjual harta wakaf seandainya diperlukan dikemudian hari
2)
Wakif tidak menyatakan hak untuk menjual atau menukar harta wakaf,dalam
sighat wakaf dahulu,dan tidak memberikan hak kepada orang atau lembaga yang
lain.kemudian hari ternyata harta wakaf itu tida dapat diambil manfaat aau
hasilnya lagi,seperti robohnya bangunan wakaf atau gersangnya tanah sehingga
tidak menghasilkan yang sepadan dengan biaya pengolahanya.Penggantian atau
penjualan hal seperi ini dibolehkan dengan keputusan baik.
3)
Harta wakaf
telah memberi manfaat atau mendatangkan hasil yang melebihi biaya pengelolaanya.
2. Kritik dan Saran
Demikian makalah tentang “Tukar Guling Wakaf Menurut
Prespektif Fiqih” tentunya masih banyakkesalah dan kekuranganya.Untuk itu kami
membuka kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan penyusunan
makalah di kemudian hari.
Daftar Pustaka
Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakakaf Produktif.Jakarta Timur: KHALIFA
PUSTAKA AL-KAUTSAR GROUP, 2005
A Rahman,Asymuni dkk. Ilmu Fiqih 3,Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama,1986
Khosyi’ah,siah. Wakaf dan Hibah.Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2010
Paradigma Baru
Wakaf di Indonesia,di terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2007
Rokamah,Ridho. Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah,2012
Andianas.blogspot.com/2012/01/pandangan-imam-mazhab-dan-para-ulama.html
[1]
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content & view=article & id= 751 % 3 Arethinking-fiqih-wakaf & catid= 27 % 3 Aopini & Itemid= 137 & lang=in
[3] Mundzir
Qahaf, Manajemen Wakakaf Produktif, (Khalifa Pustaka Al-kautsar Group:
Tahun 2005 ), hal 97-100
[4] Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di
terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 6-7
[6] Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di
terbitkan oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 7-9
[7]
Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqih
3, ( Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama: Tahun 1986 ), 223-225
[8]
Lihat,Paradigma Baru Wakaf di Indonesia,di terbitkan
oleh: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Islam Departemen Agama RI Tahun 2007.Hal 17-20
[9]
Ridho Rokamah, Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah, 67
saya membeli tanah 380m dengan status tanah girik ditanah tersebut sudah ada makam nya setelah proses jual beli tersebut selesai saya naikan status tanah tersebut menjadi shm,setelah lama berlalu terjadi pertenggkaran antara saya dan pewaris makam makam tersebut.lalu saya pun mennandatangani sepucuk surat yang berisikan bahwa tanah ini adalah wakaf ,di kemudian hari para ahli waris pun ingin makam makam itu di pindahkan dari tanah saya dan meminta uang untuk biyaya pemindahan wakaf yang baru senilai 250 jta ,setelah makam makam itu di pindah kan dari tempat saya sayapun menjual tanah yang saya wakapkan sendiri di karenakan butuh uang untuk pembelian tanah yang baru buat makam tersebut .pertanyaan nya apakah saya berdosa dan apakah yang saya jual itu status nya masih tanah wakaf,
BalasHapus